Jumat, 19 Desember 2008

Tidak Ada Waktu Istirahat untuk Tubuh Letih Rasulullah

Oleh: Mochamad Bugi

Madinah dikepung tentara gabungan kabilah-kabilah Arab. Kabilah Quraisy beraliansi dengan kabilah Ghathfan, kabilah Asad, kabilah Asyja’, kabilah Salim, dan kabilah Murrah. Pasukan sekutu (Ahzab) ini ingin memukul kekuatan kaum muslimin Madinah dengan satu serangan yang menghancurkan untuk selama-lamanya.
Pada tanggal 8 Dzulqa’idah 5 Hijriah atau sekitar April 627 Masehi, tentara Ahzab itu mendekati Kota Madinah. Gerakan mereka terhenti karena di celah antara dua gunung yang menjadi pintu masuk Madinah telah menganga parit pertahanan yang tidak bisa dilompati kuda-kuda mereka.
Perang pun berubah menjadi perang adu daya tahan. Pasukan aliansi musyrikin Arab mengepung Madinah. Tentara Rasulullah saw., kaum muslimin, bertahan di belakang garis parit (Khandaq) yang mereka bangun. Lima belas hari lamanya perang daya tahan ini berlangsung. Sepuluh ribu tentara musyrikin Arab menunggu-nunggu kelengahan tiga ribu tentara muslimin di balik parit pertahanan mereka. Mereka secara berkala menggempur titik-titik pertahanan yang terlihat lemah.
Parit. Ini teknik perang gaya baru bagi dunia Arab saat itu. Salman Al-Farisi yang mengusulkan teknik perang bertahan itu. Tapi, membangun parit pertahanan yang lebar, panjang, dan dalam bukan perkara mudah. Berat. Melelahkan. Apalagi waktunya pendek. Harus sudah selesai sebelum pasukan musuh tiba.
Rasulullah saw. memimpin langsung penggalian parit itu. Seluruh penduduk Madinah dikerahkan. Rasulullah saw. membangun parit di sebelah Utara kota Madinah di antara dua pegunungan batu yang membentengi Madinah hampir di segala sisi, kecuali di bagian Tenggara kota. Rasulullah saw. sengaja tidak menggali parit di bagian ini. Itu pintu masuk Yahudi Bani Quraizhah ke kota Madinah.
Rasulullah saw. memang telah memperkirakan Bani Quraizhah suatu saat akan berkhianat. Namun Rasulullah saw. tetap berprasangka baik dan berpegang teguh pada Piagam Madinah yang ikut disepakati Bani Quraizhah. Dalam piagam itu, pihak-pihak yang membuat perjanjian sepakat untuk bahu-membahu mempertahankan kota Madinah dari serangan luar. Namun kemudian yang terjadi sebaliknya. Di perang ini Bani Quraizhah berkhianat.
Duh, sungguh berat sekali perang yang harus dihadapi Rasulullah saw. kali ini. Musuh ada di dua front. Tenaga dan pikiran Rasulullah saw. pasti terkuras habis. Al-Waqidi menggambarkan betapa lelahnya Rasulullah saw. Ia mendapat sanad yang berujung kepada Abu Waqid Al-Laitsi, seorang sahabat yang ikut dalam Perang Khandaq.
Abu Waqid Al-Laitsi bercerita, “Pada hari itu, kaum muslimin berjumlah tiga ribu orang. Aku melihat Rasulullah saw. sekali-kali menggali tanah dengan menggunakan cangkul, ikut menggali tanah dengan menggunakan sekop, serta ikut memikul keranjang yang diisi tanah. Suatu siang, sungguh aku melihat beliau dalam keadaan sangat lelah. Beliau lalu duduk dan menyandarkan bagian rusuk kirinya pada sebuah batu, kemudian tertidur. Aku melihat Abu Bakar dan Umar berdiri di belakang kepalanya menghadap orang-orang yang lewat agar mereka tidak mengganggu beliau yang sedang tidur. Pada waktu itu aku dekat pada beliau. Beliau kaget dan bangun terperanjat dari tidurnya, lalu berkata, ‘Mengapa kalian tidak membangunkan aku?’ Kemudian beliau mengambil kapak yang akan beliau gunakan untuk mencangkul, lalu beliau berdoa, ‘Ya Allah, ya Tuhanku, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat. Maka, muliakanlah kaum Anshar dan wanita yang hijrah.’”
Tampaknya perang memang tidak mengizinkan Rasulullah saw. beristirahat. Ummu Salamah, istri Rasulullah, yang ikut berkemah di Markas Komando di Gunung Salah’, nama gunung di sebelah Utara Madinah, bercerita, “Demi Allah, aku berada di tengah kelamnya malam di kemah Rasulullah saw. Beliau sedang tidur sampai aku mendengar suara yang mengejutkan. Aku mendengar orang berteriak, ‘Yaa khailallah (wahai pasukan kuda Allah)! Rasulullah saw. menjadikan sebutan itu sebagai syiar panggilan Muhajirin: Ya kahilallah! Rasulullah saw. pun kaget mendengar suara orang itu, kemudian beliau keluar dari kemahnya.
Tiba-tiba ada sekelompok orang berjaga di depan kemah beliau. Salah seorang di antara mereka itu adalah Abbad bin Basyar. Beliau bertanya, ‘Ada apa dengan orang-orang?’ Abbad menjawab, ‘Ya Rasulullah, itu suara Umar bin Khaththab, malam ini gilirannya berseru, Ya khailallah.’ Orang-orang berkumpul kepadanya mengarah pada sebuah tempat di Madinah bernama Hunaikah di antara Dzahhab dan Masjid Al-Fath. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada Abbad bin Basyar, ‘Pergilah ke sana dan lihat, kemudian kembali lagi kepadaku, insya Allah, dan ceritakan keadaan yang terjadi di sana!’”
Ummu Salamah berkata, “Aku berdiri di dekat pintu kemah mendengarkan semua yang mereka bicarakan. Rasulullah saw. terus berdiri hingga Abbad bin Basyar datang, lalu ia berkata, ‘Ya Rasulullah, itu Amar bin Abd di kuda kaum musyrikin, ikut bersamanya Mas’ud bin Rujanah bin Raits bin Ghathfan di kuda Ghathfan, dan kaum muslimin melemparnya dengan lembing dan batu.’”
Ummu Salamah kemudian berkata, “Lalu Rasulullah saw. masuk ke dalam kemah dan memakai baju perangnya, kemudian beliau menunggang kuda perangnya diikuti para sahabatnya hingga sampai di tempat peperangan. Tidak lama setelah itu, beliau datang dalam keadaan gembira dan berkata, ‘Allah telah memalingkan mereka dan mereka banyak yang cidera.’”
Ummu Salamah berkata, “Setelah itu beliau tidur hingga aku mendengarkan suara dengkurannya. Aku mendengar pula suara lain yang mengejutkan, maka beliau terperanjat kaget dan memanggil dengan suara keras, ‘Ya Abbad bin Basyar!’ Abbad menjawab, ‘Labbaik (aku menyambut seruanmu)! Beliau berkata, ‘Lihat apa itu!’ Abbad bin Basyar pun langsung pergi, kemudian kembali dan berkata, ‘Itu Dharar bin Al-Khaththab ikut dalam pasukan berkuda kaum musyrikin dan ikut bersamanya Uyainah bin Hishn pada pasukan berkuda Ghathfan di Gunung Bani Ubaid. Kaum muslimin melempari mereka dengan batu dan lembing.’ Maka Rasulullah saw. berdiri memakai baju perangnya dan menunggang kudanya, kemudian berangkat dengan para sahabatnya menuju tempat peperangan tersebut. Beliau tidak kembali kepada kami hinggga menjelang waktu subuh. Setelah datang beliau berkata, ‘Mereka kembali dalam keadaan kalah dan banyak di antara mereka yang cidera.’ Kemudian beliau shalat subuh dengan para sahabatnya.
Ummu Salamah juga berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah saw. menyaksikan peperangan yang di dalamnya banyak yang terbunuh dan menakutkan, yaitu Al-Muraisi’ dan Khaibar. Kami pun pernah ikut dalam peperangan Hudaibiyah. Dalam peperangan Fathu Mekkah dan Hunain, tidak ada yang lebih melelahkan bagi Rasulullah saw. dan tidak pula yang lebih menakutkan bagi kami daripada peperangan Khandaq, karena pada waktu itu kaum muslimin menghadapi semacam kesulitan dan Bani Quraizhah tidak bisa kami amankan terhadap Adz-Dzraari. Madinah dijaga hingga pagi. Takbir kaum muslimin terdengar hingga pagi karena gentingnya dan mereka tidak memperoleh keberuntungan apa pun. Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan dan Allah-lah yang mengirimkan angin dan malaikat kepada mereka. Sesungguhnya, Allah Mahakuat dan Maha Perkasa.”
Duh, sungguh peperangan di Perang Khandaq menguras tenaga Rasulullah saw. Ummul Mukminin Aisyah berkata, “Sesungguhnya aku melihat Sa’ad bin Abi Waqqash di suatu malam, sedang kami berada di Khandaq, menyaksikan . Dan aku masih benar-benar menyukai tempat itu.”
Aisyah berkata, “Rasulullah saw. selalu pergi menjaga lubang di Khandaq sehingga apabila beliau kedinginan, beliau datang kepadaku. Lalu aku hangatkan dalam pelukanku. Apabila beliau telah hangat, beliau keluar lagi menjaga lubang itu. Beliau berkata, ‘Aku tidak khawatir terhadap kedatangan orang-orang (musuh), tetapi aku khawatir mereka datang sementara aku tidak berada di lubang itu.’ Setelah Rasulullah saw. berada dalam pelukanku dan telah hangat, beliua berkata, ‘Andainya ada orang yang saleh menjagaku.’”
Aisyah berkata, “Hingga aku mendengar suara sejata dan bunyi gesekan pedang.” Lalu Rasulullah saw. berkata, “Siapa itu?” “Sa’ad bin Abi Waqqash.” Beliau berkata, “Jagalah lubang itu.” Aisyah berkata, “Rasulullah saw. lalu tertidur hingga aku mendengar dengkurannya.”
Hari demi hari berlalu. Pengepungan masih berlanjut. Angin dingin bertiup kencang. Medan perang semakin berat. Apalagi untuk pria paruh baya seperti Rasulullah saw. Dalam usia 57 tahun, tubuh Rasulullah saw. harus selalu siap siaga berjaga dan siap berperang setiap waktu. Beliau selalu bergerak cepat dari satu titik pertahanan ke titik pertahanan lain yang mendapat gempuran musuh. Serangan itu terjadi kapan pun tak kenal waktu. Siang dan malam. Rasulullah saw. hampir-hampir tidak bisa tidur selama peperangan berkecamuk. Rasulullah saw. adalah manusia biasa. Tubuhnya lelah. Kelelahan yang tiada tara. Tidak ada waktu istirahat untuk Rasulullah saw. Tidak ada

Ummu Ruman Seorang Bidadari Surga

Oleh: Mochamad Bugi

Wanita ini bernama Zainab atau biasa disebut Di’din. Tapi ia lebih sering dipanggil dengan laqab (nama panggilan) Ummu Ruman. Wanita ini anak perempuan dari Amir bin Uwaimir bin Abdullah Syams bin ‘Iqab. Nasabnya berakhir di Kinanah.
Ummu Ruman tinggal di wilayah yang bernama As-Sirat, yaitu sebuah dataran berkontur pegunungan dan berbukitan di Jazirah Arabia. Ketika sampai usia akil balig, ia dinikahkan dengan pemuda sedesanya yang bernama Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumah Al-Kaher. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama Ath-Thufail.
Kemudian Ummu Ruman dan anaknya, Ath-Thufail, dibawa Harits pindah ke Makkah. Di Makkah, keluarga kecil ini tinggal dan mendapat perlindungan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. Sayang, Harits tidak dikarunia Allah swt. dengan umur panjang. Ia meninggal setelah setahun tinggal di Makkah. Abu Bakar kemudian menikahi Ummu Ruman dan merawat Ath-Thufail. Ummu Ruman pun menjadi istri kedua Abu Bakar.
Dari istri pertamanya, Abu Bakar memiliki dua orang anak, yaitu Asma dan Abdullah. Dari pernikahan dengan Ummu Ruman, Abu Bakar pun mendapat dua orang anak, yaitu Aisyah dan Abdurrahman. Selisih usia Asma dan Aisyah sepuluh tahun. Ummu Ruman menyatukan Ath-Thufail, Asma, Abdullah, Aisyah, dan Abdurrahman dalam asuhannya.
Ummu Ruman masuk Islam ketika Abu Bakar masuk Islam. Jadi, ia termasuk salah satu as-sabiqunal awwalun (kelompok pertama yang masuk Islam). Seluruh anak-anaknya mengikuti jejaknya masuk Islam, kecuali Abdurrahman. Dengan begitu, rumah Ummu Ruman adalah rumah kedua yang berada dalam naungan Islam setelah rumah Rasulullah saw.
Berbagai macam siksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum muslimin di Makkah juga menimpa diri Ummu Ruman. Apalagi ia aktif bahu-membahu dengan suaminya, Abu Bakar, menyelamatkan orang-orang yang telah memeluk Islam ketika itu dari gangguan kafir Quraisy.
Sebagai ibu, Ummu Ruman sangat disiplin dan berhasil mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang istri, ia sangat menghormati hak-hak suaminya. Dan, ia adalah seorang wanita yang menepati janji lagi bijak bestari. Sifat-sifat mulia itu terekam dalam peristiwa Rasulullah saw. meminang Aisyah.
Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami. Ia berkata, Abu Salamah dan Yahya menceritakan kepada kami, ketika Khadijah telah meninggal dunia, Khaulah binti Hakim –istri Utsman bin Mazh’un—datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau menikah lagi?” Beliau berkata, “Dengan siapa?” Khaulah berkata, “Apabila engkau mau, engkau dapat menikahi seorang gadis, atau seorang janda.” Beliau bertanya, “Siapakah gadis tersebut?” Khaulah menjawab, “Putri hamba Allah Azza wa Jalla yang paling engkau cintai di muka bumi, Aisyah binti Abu Bakar.” Beliau bertanya lagi, “Lalu siapakah janda tersebut?” Khaulah menjawab, “Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti segala yang engkau ucapkan.” Rasulullah berkata, “Kalau begitu pergilah kepada keduanya, dan sebutkan namaku kepada mereka.”
Khaulah kemudian datang ke rumah Abu Bakar, dan ketika masuk ia berkata, “Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan keberkahan apakah yang dicurahkan Allah Azza wa Jalla kepada kalian?” Ummu Ruman bertanya, “Apakah itu?” Khaulah menjawab, “Rasulullah saw. mengutusku meminang Aisyah untuk beliau.” Ummu Ruman berkata, “Kalau begitu, tunggulah sampai Abu Bakar pulang.”
Setelah Abu Bakar tiba, Khaulah menyampaikan maksud Rasulullah saw. Setelah mendengan kabar itu, Abu Bakar berkata, “Tunggu sebentar.” Abu Bakar pun keluar rumah. Ummu Ruman berkata kepada Khaulah, “Sesungguhnya Muth’im bin Ady pernah menyebutkan nama Aisyah di hadapan putranya, dan demi Allah, Abu Bakar tidak pernah menjanjikan sesuatu lalu melanggarnya.”
Abu Bakar pergi menemui Muth’im bin Ady. Ternyata Muth’im menarik kembali ucapannya karena khawatir anaknya masuk Islam. Setelah itu, Abu Bakar berkata kepada Khaulah, “Panggillah Rasulullah saw. kemari.” Khaulah pun pergi menjemput Rasulullah saw. Tak lama kemudian Abu Bakar menikahkan Rasulullah saw. dengan putrinya, Aisyah, yang ketika itu berusia 6 tahun.
Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah saw. mendapat perintah untuk berhijrah. Abu Bakar diminta Rasulullah saw. mendampingi. Abu Bakar segera menyampaikan hal itu kepada isterinya, Ummu Ruman. Berita itu tidak membuat Ummu Ruman takut, meski ia harus tetap tinggal di Makkah bersama dengan anak-anaknya di bawah ancaman mara bahaya yang mungkin terjadi. Ummu Ruman justru berkata, “Sesungguhnya keluarga Rasulullah saw. harus menjadi teladan kita.”
Setelah Abu Bakar berangkat mendampingi Rasulullah saw. menuju Madinah, Ummu Ruman tetap melakukan tugas dan perannya seperti biasa. Tak lama kemudian ia menyusul hijrah ke Madinah bersama keluarganya dan keluarga Rasulullah saw., Fathimah, Ummu Kaltsum, Saudah, Zaid bin Haritsah, Abu Rafi’, hamba sahaya Rasulullah saw., Abdullah bin Ariqazh yang diutus Nabi untuk membawa mereka semua ke Madinah. Thalhah bin Abdullah pun turut serta dalam kafilah ini.
Ketika tiba di Madinah, Ummu Ruman berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Bakar, tidakkah engkau mengingatkan Rasulullah saw. tentang perkara Aisyah?” Maka Abu Bakar segera berangkat menemui Rasulullah saw. dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau ingin menggauli keluargamu, ya Rasulullah?”
Kisah selanjutnya Aisyah sendiri yang menceritakannya. Aisyah r.a. berkata, “Nabi Muhammad saw. menikahiku pada saat aku berusia 6 tahun. Kami kemudian pergi ke Madinah dan tinggal di kediaman Bani Harits bin Khazraj, ketika itu saya tidak enak badan dan rambut pun rontok. Ibuku –Ummu Ruman—kemudian mendatangiku yang ketika itu aku berada di sebuah ayunan bersama teman-temanku. Ia kemudian memanggilku. Aku pun mendatanginya meski tidak tahu apa yang ia inginkan dariku.
Ia kemudian memegang tanganku dan menghadangku di pintu rumah, hingga aku mulai merasa tidak tenang. Ia kemudian mengambil sesuatu dari air dan mengusapkannya pada wajah dan kepalaku. Ia kemudian memasukkanku ke sebuah rumah yang sudah dipenuhi wanita-wanita Anshar. Mereka berkata, ‘Dengan segala kebaikan dan keberkahan, dan rezeki yang baik.’ Ia kemudian menyerahkanku kepada mereka dan segera mendandaniku, dan hal ini tidak membuatku merasa takut kecuali kedatangan Rasulullah saw. Mereka kemudian menyerahkanku kepada beliau, dan ketika itu aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab Manaqib, hadits nomor 3605)
Hubungan Rasulullah saw. dan Aisyah mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Peristiwa ini juga berat dirasakan oleh Ummu Ruman, ibu Aisyah. Pada tahun keenam Hijriah, kaum munafikin menghembuskan fitnah yang menyerang kehormatan dan kemuliaan Aisyah. Ketika pulang dari memerangi Bani Musthaliq, Aisyah tertinggal rombongan Rasulullah saw. Ada seorang sahabat menemukan Aisyah dan mengantar pulang ke Madinah.
Sesampai di Madinah Aisyah sakit. Ia meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk dirawat di rumah ibunya, Ummu Ruman. Ketika itu sebenarnya sang ibu telah mendengar fitnah yang dihembuskan oleh kaum munafikin terhadap kesucian Aisyah. Ia berusaha menyembunyikan kabar itu dari anaknya.
Dari Masruq bin Ajda’ berkata, Ummu Ruman menceritakan kepadaku seraya berkata, ‘Ketika kami sedang duduk bersama Aisyah, tiba-tiba masuk seorang wanita Anshar dan berkata, “Semoga Allah melakukan yang demikian terhadap fulan!” Ummu Ruman kemudian berkata, “Siapakah orang itu?”
Wanita tersebut berkata, “Ia adalah putraku yang menceritakan desas-desus itu.” Ummu Ruman bertanya, “Apakah desas-desus tersebut.” Wanita itu pun menceritakan isu yang merebak di tengah kota berupa tuduhan terhadap Aisyah r.a. Aisyah kemudian berkata, “Apakah Rasulullah saw. telah mendengar berita tersebut?” Ia berkata, “Ya.” Ia bertanya, “Dan Abu Bakar?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Mendengar itu, Aisyah pun jatuh pingsan.
Ketika sadar, Aisyah menemukan dirinya didera demam yang sangat tinggi. Saya –Ummu Ruman—lalu menghamparkan pakaiannya untuk menutupi tubuhnya.”
Tak lama kemudian Rasulullah saw. datang dan bertanya, “Bagaimana kondisi orang ini?” Ummu Ruman menjawab, “Ya Rasulullah , dia didera demam yang sangat tinggi.” Beliau berkata, “Mungkin saja karena desas-desus yang terkait dengan dirinya.” Ummu Ruman menjawab, “Ya.”
Aisyah kemudian duduk dan berkata kepada Rasulullah saw., “Kalaupun aku bersumpah, engkau tidak akan mempercayaiku. Dan bila aku mengatakannya, niscaya engkau tidak akan memaafkanku. Perumpamaan diriku dan dirimu bagaikan Ya’qub dan anak-anaknya yang berkata, ‘Dan Allah Maha Penolong atas apa yang kalian ceritakan.’”
Ummu Ruman berkata, “Beliau kemudian keluar dan tidak mengatakan apapun hingga Allah menurunkan firmanNya tentang kesucian Aisyah. Aisyah kemudian berkata, ‘Segala puji hanya untuk Allah semata, dan bukan pujian untuk seorang pun, juga tidak untuk dirimu.” (HR. Bukhari dalam Kitab Maghazi, hadits nomor 3828).
Setelah peristiwa itu, di tahun keenam Hijriah itu juga, Ummu Ruman wafat karena sakit yang dideritanya. Rasulullah saw. ikut turun ke dalam kuburannya dan berdoa di sana. Beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat wanita bidadari surga, hendaklah melihat Ummu Ruman.”

Suami Dambaan Para Bidadari

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

“Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hanzhalah di antara langit dan bumi dengan air dari awan dalam sebuah tempat besar terbuat dari perak.” Sahabat Urwah ra menegaskan kesaksiannya tentang kesyahidan Hanzhalah di perang Uhud.
Mekkah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka di Perang Badar dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas. Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekah meratapi para korban di Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan, agar orang-orang Muslim tidak merasa di atas angin karena tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.
Hingga tibalah saatnya Perang Uhud. Di antara pahlawan perang yang bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Nama lengkapnya Hanzhalah bin Abu ‘Amir bin Shaifi bin Malik bin Umayyah bin Dhabi’ah bin Zaid bin Uaf bin Amru bin Auf bin Malik al-Aus al-Anshory al-Ausy. Pada masa jahiliyah ayahnya dikenal sebagai seorang pendeta, namanya Amru.
Suatu hari ayahnya ditanya mengenai kedatangan Nabi dan sifatnya hingga ketika datang, orang-orang dengan mudahnya dapat mengenalnya. Ayahnya pun menyebutkan apa yang ditanyakan. Bahkan secara terang-terangan dirinya akan beriman dengan kenabian itu. Ketika Allah turunkan Islam di jazirah Arab untuk menuntun jalan kebenaran melalui nabi terakhir. Justru dirinya mengingkarinya. Bahkan dirinya hasud dengan kenabian Muhammad. Tak lama kemudian Allah bukakan hati anaknya, Hanzhalah untuk menerima kebenaran yang dibawa Rasulullah. Sejak itulah jiwa dan raganya untuk perjuangan Islam.
Kebencian ayahnya terhadap Rasulullah membuat darahnya naik turun. Bahkan meminta izin Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi Rasulullah tidak mengizinkan. Sejak itulah keyakinan akan kebenaran ajaran Islam semakin menancap di relung hatinya. Seluruh waktunya digunakan untuk menimba ilmu dari Rasulullah.
Di tengah kesibukkannya mengikuti da’wah Rasulullah yang penuh dinamika, tak terasa usia telah menghantarkannya untuk memasuki fase kehidupan berumah tangga. Disamping untuk melakukan regenerasi, tentu ada nikmat karunia Allah yang tak mungkin terlewatkan.
Hanzhalah menikahi Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, anak sahabat bapaknya. Mertuanya itu dikenal sebagai tokoh munafik, menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Dia berpura-pura membela Nabi saw dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan muslim bergerak ke medan laga, ia menarik diri bersama orang-orangnya, kembali ke Madinah.
Sementara itu Madinah dalam keadaan siaga penuh. Kaum muslimin sudah mencium gelagat dan gerak-gerik rencana penyerangan oleh pasukan Abu Shufyan. Situasi Madinah sangat genting.
Namun walau dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan tenang hati dan penuh keyakinan akan melangsungkan pernikahannya. Sungguh tindakannya itu merupakan gambaran sosok yang senantiassa tenang menghadapi berbagai macam keadaan.
Hanzhalah menikahi Jamilah, sang kekasih, pada suatu malam yang paginya akan berlangsung peperangan di Uhud. Ia meminta izin kepada Nabi saw untuk bermalam bersama istrinya. Ia tidak tahu persis apakah itu pertemuan atau perpisahan. Nabi pun mengizinkannya bermalam bersama istri yang baru saja dinikahinya.
Mereka memang baru saja menjalin sebuah ikatan. Memadu segala rasa dari dua lautan jiwa. Berjanji, menjaga bahtera tak akan karam walau kelak badai garang menghadang. Kini, dunia seakan menjadi milik berdua. Malam pertama yang selalu panjang bagi setiap mempelai dilalui dengan penuh mesra. Tak diharapkannya pagi segera menjelang. Segala gemuruh hasrat tertumpah. Sebab, sesuatu yang haram telah menjadi halal.
Langit begitu mempesona. Kerlip gemintang bagaikan menggoda rembulan yang sedang kasmaran. Keheningannya menjamu temaramnya rembulan, diukirnya do’a-do’a dengan goresan harapan, khusyu’, berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan jiwa dengan tatapan cinta. Hingga, sepasang manusia itu semakin dimabuk kepayang.
Indah…Sungguh sebuah episode yang teramat indah untuk dilewatkan. Namun disaat sang pengantin asyik terbuai wanginya aroma asmara, seruan jihad berkumandang dan menghampiri gendang telinganya.
“Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!”
Pemuda yang belum lama menikmati indahnya malam pertama itu tersentak. Jiwanya sontak terbakar karena ghirah. Suara itu terdengar sangat tajam menusuk telinganya dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu seolah-olah irama surgawi yang lama dinanti. Hanzalah harus mengeluarkan keputusan dengan cepat. Bersama dengan hembusan angin fajar pertama, Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan diri dari sang istri.
Dia segera menghambur keluar, dia tidak menunda lagi keberangkatannya, supaya ia bisa mandi terlebih dahulu. Istrinya meneguhkan tekadnya untuk keluar menyambut seruan jihad sambil memohon kepada Allah agar suaminya diberi anugerah salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid,
Dia berangkat diiringi deraian air mata kekasih yang dicintainya. Ia berangkat dengan kerinduan mengisi relung hatinya. Kerinduan saat-saat pertama yang sebelumnya sangat dinantikannya, saat mereka berdua terikat dalam jalinan suci. Namun semua itu berlalu bagaikan mimpi. Hanzalahpun akhirnya berangkat menuju medan laga untuk memenangkan cinta yang lebih besar atas segalanya. Bahkan untuk meraih kemenangan atas dirinya sendiri.
Kenikmatan yang bagai tuangan anggur memabukkan tak akan membuatnya terlena. Sehingga, iringan do’alah yang mengantar kepergiannya ke medan jihad. Dia bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama dipersiapkan. Baju perang membalut badan, sebilah pedang terselip dipinggang. Siap bergabung dengan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw.
Berperang bersama Hamzah, Abu Dujanah, Zubayr, Muhajirin dan Anshar yang terus berperang dengan yel-yel, seolah tak ada lagi yang bisa menahan mereka. Bulu-bulu putih pakaian Ali, surban merah Abu Dujanah, surban kuning Zubayr, surban hijau Hubab, melambai-lambai bagaikan bendera kemenangan, memberi kekuatan bagi barisan di belakangnya.
Tubuh Hanzhalah yang perkasa serta merta langsung berada di atas punggung kuda. Sambil membenahi posisinya di punggung kuda, tali kekang ditarik dan kuda melesat secepat kilat menuju barisan perang yang tengah bekecamuk. Tangannya yang kekar memainkan pedang dengan gerakan menebas dan menghentak, menimbulkan efek bak hempasan angin puting beliung.
Musuh datang bergulung. Merimbas-rimbas. Tak gentar, ia justru merangsek ke depan. Menyibak. Menerjang kecamuk perang. Nafasnya tersengal. Torehan luka di badan sudah tak terbilang. Tujuan utama ingin berhadapan dengan komandan pasukan lawan. Serang! Musuhpun bergelimpangan.
Takbir bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar. Berdentam. Mendesak-desak ke segenap penjuru langit. Hanzhalah terus melabrak. Terjangannya dahsyat laksana badai. Pedangnya berkelebat. Suaranya melenting-lenting. Kilap mengintai. Deras menebas. Berkali-kali orang Quraisy yang masih berkutat dalam lembah jahiliyah itu mati terbunuh di tangannya.
Sementara itu, dari kejauhan Abu Sufyan melihat lelaki yang gesit itu. Diaingin sekali mendekat dan membunuhnya, tetapi nyalinya belum juga cukupuntuk membalaskan dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu. Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan terpaksa melayaninya dalam duel satu lawan satu. Abu Sufyan terjatuh dari kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.
Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. Dalam hitungan detik, nyawanya akan melayang. Tapi, dalam suasana genting itu, Abu Sufyan berteriak minta tolong, “Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.”
Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Syadad bin Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah, behasil menelikung gerakan hanzhalah dan menebas tengkuknya dari belakang. Tubuh yang gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah, boom!!! Para sahabat yang berada di sekitar dirinya mencoba untuk memberi pertolongan, namun langkah mereka terhenti.
Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang, sehingga Hanzhalah tersungkur. Dalam kondisi yang sudah parah, darah mengalir begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak dari berbagai penjuru.
Tak lama kecamuk perang surut. Sepi memagut. Mendekap perih di banyak potongan tubuh yang tercerabut. Ia syahid di medan Uhud. Di sebuah gundukan tanah yang tampak masih basah, jasadnya terbujur.
Semburat cahaya terang dari langit membungkus jenazah Hanzhalah dan mengangkatnya ke angkasa setinggi rata-rata air mata memandang. Juga tejadi hujan lokal dan tubuhnya terbolak-balik seperti ada sesuatu yang hendak diratakan oleh air ke sekujur tubuh Hanzhalah. Bayang-bayang putih juga berkelebat mengiringi tetesan air hujan. Hujan mereda, cahaya terang padam diiringi kepergian bayang-bayang putih ke langit dan tubuh Hanzhalah kembali terjatuh dengan perlahan.
Subhanallah! Padahal sedari tadi hujan tak pernah turun mengguyur, setetes-pun. Para sahabat yang menyaksikan tak urung heran. Para sahabat kemudian membawa jenazah yang basah kuyup itu ke hadapan Rasulullah saw dan menceritakan tentang peristiwa yang mereka saksikan. Rasulullah meminta agar seseorang segera memanggil istri Hanzhalah.
Begitu wanita yang dimaksud tiba di hadapan Rasul, beliau menceritakan begini dan begini tentang Hanzhalah dan bertanya: “Apa yang telah dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang?”
Wanita itu tertunduk. Rona pipinya memerah, dengan senyum tipis ia berkata: “Hanzhalah pergi dalam keadaan junub dan belum sempat mandi ya Rasulullah!”
Rasulullah kemudian berkata kepada yang hadir. “Ketahuilah oleh kalian. Bahwasannya jenazah Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat. Bayang-bayang putih itu adalah istri-istrinya dari kalangan bidadari yang datang menjemputnya.”
Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata; “Wahai Hanzhalah, wahai suami kami. Lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita keperaduan.”
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS 61:10-12).
Sumber dari ‘Yas’alunaka Fiddiini wal Hayaah’ yang diterjemahkan menjadi “Dialog Islam” karya Dr. Ahmad Asy-Syarbaasyi (dosen Universitas Al-Azhar, Cairo), Penerbit Zikir, Surabaya, 1997, cetakan pertama

Kesabaran

Agar misi dakwah ilallah berjalan dengan lancar dan kontinu, Allah swt. membekali para nabi dan rasul dengan salah satu sifat asasi, yaitu sabar. Sabar dalam terus mengajak kebaikan, sabar dalam menghadapi hinaan, tegar dalam menghadapi penentangan, sebagaimana mereka juga dibekali dengan sifat bijaksana dan santun. Dengan demikian, tidak ada lagi hujjah atau udzur bagi orang kafir dengan menyalahkan Allah swt. di yaumil akhir kelak setelah datangnya para nabi dan rasul di tengah-tengah mereka.

Membuktikan Kesabaran
Adalah Nabi Nuh alaihissalam, salah satu dari rasul yang memiliki sebutan ulul azmi, yang memiliki ketegaran. Ia mendakwahi kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun. Subhanallah, waktu yang tidak sebentar. Ia sabar menghadapi celaan kaumnya, ia tegar menghadapi penentangan mereka. Sisi lain, ia sangat menghendaki kebaikan dan keimanan kaumnya. Akan tetapi mereka bukannya menerima seruan dakwah Nabi Nuh, justru kian hari mereka kian menolak dan menentang.
Perihal penolakan kaumnya, Nabi Nuh alaihissalam mengadu kepada Allah swt. Ia merasa tidak ada peluang kebaikan dan keimanan lagi dari kaumnya. Akhirnya Allah swt. memberitahu Nuh bahwa kaumnya tidak akan ada yang mau beriman lagi.
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.” (Huud: 36)
Ketika mengetahui bahwa Allah swt. telah memutuskan kalimat-Nya bahwa tidak akan ada yang beriman seorang pun dari mereka setelah ini, Allah telah menutup kalbu mereka dan menguncinya dengan gembok yang kuat, Nabi Nuh alaihissalam berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan kecuali anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. (Nuh: 26-27)
Allah swt. mengabulkan pengaduan Nabi Nuh dan memerintahkannya untuk bersiap-siap mengadakan penyelamatan bila tiba saatnya. “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (Huud: 37)
Melaksanakan Perintah Tanpa Ragu
Nabi Nuh menjauh dari pusat kota untuk membuat bahtera. Ia mulai bekerja. Sampai di sini, ia pun tidak luput dari celaan dan hinaan kaumnya.
Sebagian mereka mengatakan, “Wahai Nuh, kamu sebelum ini mengaku sebagai Nabi dan Rasul, bagaimana sekarang kamu menjadi tukang kayu? Apakah kamu melepaskan kenabian? Ataukah kamu lebih suka menjadi tukang kayu?”
Sebagian yang lain mengatakan, “Kamu membuat bahtera di tempat yang jauh dari sungai dan laut? Apakah kamu mengharapkan banjir akan menjalankan bahteramu? Atau kamu paksa angin akan membawanya terbang?”
Nabi Nuh tidak menggubris hinaan dan celaan mereka. Ia dengan santun melalui omong kosong mereka, sambil berkata, “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (Huud: 38-39)
Nabi Nuh berkonsentrasi membuat bahtera. Ia menyusun kayu-kayu, mengguatkan susunan-susunannya, sampai akhirnya jadilah bahtera besar dan kokoh. Nabi Nuh menunggu keputusan Allah swt. sampai akhirnya Allah swt mewahyukan kepadanya: “Jika sudah datang keputusan Kami, telah tampak tanda-tanda ayat-ayat Kami, maka berlindunglah kamu di dalam bahtera, dan bawalah orang yang beriman dari keluarga dan kaummu, dan bawalah setiap hewan dan tanaman masing-masing sepasang.”
Tibalah putusan Allah swt., yaitu ketika pintu-pintu langit terbuka dengan mengguyurkan hujan yang sangat deras, sedangkan bumi memancarkan sumber air yang sangat kencang, hingga menyebabkan air bah meluap, meninggi dan terus meninggi. Nabi Nuh bergegas menuju bahteranya dengan melaksanakan segala perintah Tuhannya, yaitu membawa manusia, hewan, dan tanaman berpasangan.
Tawakkal kepada Allah
Bahtera melaju dengan nama Allah swt., Dzat yang menjalankan dan melepasnya. Kadang bahtera melaju dengan tenang, kadang melaju dengan goncangan hebat.
Tsunami menggulung setiap yang diterjangnya. Ombak menggunung mengubur orang-orang kafir. Busa air bah bak kain kafan yang menyelimuti mereka. Mereka berjuang menyelamatkan diri dari maut, padahal maut mengejar dan mengalahkan mereka. Mereka melawan ombak, justru ombak menggilas mereka.
Nabi Nuh dan kaumnya tenang di atas bahtera, sampai akhirnya ia melihat putranya, Kan’an –penentang Allah, membenci dan menjauh dari ayahnya– berusaha menyelamatkan diri dari gulungan ombak yang dahsyat. Ia terlihat berusaha memegang tali agar selamat, atau menuju bukit agar terhindar dari tsunami. Akan tetapi maut mengincar dirinya.
Melihat kejadian itu, Nabi Nuh sebagai seorang ayah merasa kasihan. Cinta dan kasih-sayang seorang ayah bergolak. Nabi Nuh memanggil putranya dengan harapan panggilan itu sampai pada kalbu, sehingga ia mau beriman. Atau sampai pada perasaan yang paling dalam sehingga ia mau mendengar seruan ayahnya. “Wahai putraku, mau ke mana kamu? Kamu lari dari takdir Allah dan keputusan-Nya menuju takdir dan keputusan-Nya yang lain. Kemari beriman, wahai putraku, kamu akan bersatu lagi dengan keluargamu, dan kamu akan selamat dari tsunami ini.”
”Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (Huud: 42)
Seruan sang ayah rupanya tidak sampai pada lubuk hatinya, tidak sampai ke relung kalbunya. Ia menyangka mampu menghindar dari keputusan Allah swt., ia mengira bisa selamat dari takdir-Nya. Kan’an menjawab, ”Menjauhlah kamu dari saya, karena saya akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air bah ini!”
Nabi Nuh menyeru dengan penuh kegalauan dan kekhawatiran, ”Wahai putraku, tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Huud: 43)
Melihat putranya tenggelam di depan mata kepalanya, Nabi Nuh berujar dengan penuh kesedihan dan duka cita: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.” (Huud: 45)
Allah swt. menegur Nabi Nuh, “Wahai Nuh, ia bukan dari anggota keluargamu, ia juga bukan dari keluarga besarmu. Ia telah menentang, ia telah nyata-nyata kufur, maka jangan kamu anggap ia sebagai keluargamu, kecuali orang yang telah beriman kepadamu, mempercayai risalahmu, mengikuti dakwahmu. Itulah keluargamu yang Aku janjikan akan selamat dan mendapatkan kemenangan. ”Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.”(Rum: 47)
Adapun orang-orang yang menentang risalahmu, mendustakan kalimat Tuhanmu, ia keluar dari anggota keluargamu, jauh dari syafa’atmu, meskipun kalian ada hubungan darah atau nasab.
Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Huud: 46)
Mengakui Kesalahan dan Segera Bertaubat
Seketika itu Nabi Nuh paham bahwa perasaannya telah menjerumuskan kepada kesalahan. Dorongan cinta telah menutupinya dari kebenaran. Ia lebih pantas menengadahkan tangan bersyukur kepada Allah swt. yang telah menyelamatkan dirinya dan orang-orang beriman dari tsunami, dan atas ditimpakannya kehancuran dan ditenggelamkannya orang-orang kafir. Nabi Nuh kembali kepada Allah swt., memohon ampun atas kesalahan dirinya seraya berlindung akan murka-Nya. Ia berkata: ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Huud: 47)
Ketika tsunami telah sampai puncaknya, dan orang-orang dzalim telah tergilas olehnya, langit tidak lagi menurunkan hujan, bumi tidak lagi memancarkan sumber air, dan bahtera pun selamat menepi di Bukit Judi. Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia.
“Dan difirmankan: Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah, dan air pun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.” (Huud: 44).
Dikatakan kepada Nabi Nuh: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami.” (Huud: 48)
Sebagian nilai-nilai dari kisah di atas
Pertama, bekal asasi penyeru dakwah ilallah swt. adalah sabar; sabar dalam terus mengajak kebaikan, dan sabar atas penolakan objek dakwah. ”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”. Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushshilat: 33-35)
Kedua, tidak lari dari medan dakwah, sehebat apapun penentangan yang dihadapi. Nabi Nuh tidaklah memohon agar kaumnya dihancurkan, kecuali setelah Allah swt memberitahunya, bahwa tidak ada yang akan beriman lagi di antara mereka.
Ketiga, melaksanakan perintah, tanpa komentar dan meninggalkan larangan tanpa kompromi. Rasulullah saw bersabda, ”Tinggalkanlah apa yang aku larang, karena penyebab kaum sebelum kalian hancur adalah karena mereka selalu mendebat dan menyalahi para nabi mereka. Jika aku larang sesuatu bagimu, maka jauhilah. Dan jika aqku perintahkan untukmu, maka kerjakanlah sesuai dengan kesanggupanmu.” (HR. Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, Jilid 22, Hal. 255).
Keempat, bahwa tugas seorang muslim adalah berdakwah, adapun hidayah adalah hak prerogatif Allah swt saja. Sekalipun itu anak kita sendiri, kalau Allah swt tidak menentukan mendapat hidayah, maka ia tidak akan beriman. Sebagaimana kisah paman Nabi Muhammad saw., Abu Thalib yang meninggal dalam keadaan kafir.
Kelima, segera minta ampun dan beristighfar ketika melakukan kesalahan, sekecil apapun kesalahan itu dan mengiringinya dengan mengerjakan kebaikan. Rasulullah saw bersabda, ”Dan iringilah kesalahan dengan perbuatan kebaikan, agar kebaikan itu menghapusnya.” (Hadits Shahih berdasarkan syarat Bukhari-Muslim, Kitab Mustadrak Imam Hakim, Jilid I, Hal. 174).

Sabar Dan Shalat Sebagai Penolong

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”. (Al-Baqarah: 45-46)
Ibnu Katsir menjelaskan satu prinsip dan kaidah dalam memahami Al-Qur’an berdasarkan ayat ini bahwa meskipun ayat ini bersifat khusus ditujukan kepada Bani Israel karena konteks ayat sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada mereka, namun secara esensi bersifat umum ditujukan untuk mereka dan selain mereka. Bahkan setiap ayat Al-Qur’an, langsung atau tidak langsung sesungguhnya lebih diarahkan kepada orang-orang yang beriman, karena hanya mereka yang mau dan siap menerima pelajaran dan petunjuk apapun dari Kitabullah. Maka peristiwa yang diceritakan Allah Taala tentang Bani Israel, terkandung di dalamnya perintah agar orang-orang yang beriman mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami mereka. Begitulah kaidah dalam setiap ayat Al-Qur’an sehingga kita bisa mengambil bagian dari setiap ayat Allah swt. “Al-Ibratu Bi’umumil Lafzhi La Bikhusus sabab” (Yang harus dijadikan dasar pedoman dalam memahami Al-Qur’an adalah umumnya lafazh, bukan khususnya sebab atau peristiwa yang melatarbelakanginya”.
Perintah dalam ayat di atas sekaligus merupakan solusi agar umat secara kolektif bisa mengatasi dengan baik segala kesulitan dan problematika yang datang silih berganti. Sehingga melalui ayat ini, Allah memerintahkan agar kita memohon pertolongan kepada-Nya dengan senantiasa mengedepankan sikap sabar dan menjaga shalat dengan istiqamah. Kedua hal ini merupakan sarana meminta tolong yang terbaik ketika menghadapi berbagai kesulitan. Rasulullah saw selaku uswah hasanah, telah memberi contoh yang konkrit dalam mengamalkan ayat ini. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dijelaskan bahwa, “Sesungguhnya Rasulullah saw apabila menghadapi suatu persoalan, beliau segera mengerjakan shalat“.
Huzaifah bin Yaman menuturkan, “Pada malam berlangsungnya perang Ahzab, saya menemui Rasulullah saw, sementara beliau sedang shalat seraya menutup tubuhnya dengan jubah. Bila beliau menghadapi persoalan, maka beliau akan mengerjakan shalat“. Bahkan Ali bin Abi Thalib menuturkan keadaan Rasulullah saw pada perang Badar, “Pada malam berlangsungnya perang Badar, semua kami tertidur kecuali Rasulullah, beliau shalat dan berdo’a sampai pagi“.
Dalam riwayat Ibnu Jarir dijelaskan bagaimana pemahaman sekaligus pengamalan sahabat Rasulullah saw terhadap ayat ini. Diriwayatkan bahwa ketika Ibnu Abbas melakukan perjalanan, kemudian sampailah berita tentang kematian saudaranya Qatsum, ia langsung menghentikan kendaraanya dan segera mengerjakan shalat dua raka’at dengan melamakan duduk. Kemudian ia bangkit dan menuju kendaraannya sambil membaca, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’“.
Secara khusus untuk orang-orang yang beriman, perintah menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong ditempatkan dalam rangkaian perintah dzikir dan syukur. “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah swt senantiasa bersama dengan orang-orang yang sabar“. (Al-Baqarah: 152-153). Dalam kaitan dengan dzikir, menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong adalah dzikir. Siapa yang berdzikir atau mengingat Allah dengan sabar, maka Allah akan mengingatnya dengan rahmat.Masih dalam konteks orang yang beriman, sikap sabar yang harus selalu diwujudkan adalah dalam rangka menjalankan perintah-perintah Allah Taala, karena beban berat yang ditanggungnya akan terasa ringan jika diiringi dengan sabar dan shalat. Ibnul Qayyim mengkategorikan sabar dalam rangka menjalankan perintah Allah Taala termasuk sabar yang paling tinggi nilainya dibandingkan dengan sabar dalam menghadapi musibah dan persoalan hidup.
Syekh Sa’id Hawa menjelaskan dalam tafsirnya, Asas fit Tafasir kenapa sabar dan shalat sangat tepat untuk dijadikan sarana meminta pertolongan kepada Allah Taala. Beliau mengungkapkan bahwa sabar dapat mendatangkan berbagai kebaikan, sedangkan shalat dapat mencegah dari berbagai perilaku keji dan munkar, disamping juga shalat dapat memberi ketenangan dan kedamaian hati. Keduanya (sabar dan shalat) digandengkan dalam kedua ayat tersebut dan tidak dipisahkan, karena sabar tidak sempurna tanpa shalat, demikian juga shalat tidak sempurna tanpa diiringi dengan kesabaran. Mengerjakan shalat dengan sempurna menuntut kesabaran dan kesabaran dapat terlihat dalam shalat seseorang.
Lebih rinci, syekh Sa’id Hawa menjelaskan sarana lain yang terkait dengan sabar dan shalat yang bisa dijadikan penolong. Puasa termasuk ke dalam perintah meminta tolong dengan kesabaran karena puasa adalah separuh dari kesabaran. Sedangkan membaca Al-Fatihah dan doa termasuk ke dalam perintah untuk meminta tolong dengan shalat karena Al-Fatihah itu merupakan bagian dari shalat, begitu juga dengan do’a.Memohon pertolongan hanya kepada Allah merupakan ikrar yang selalu kita lafadzkan dalam setiap shalat kita, “Hanya kepada-Mu-lah kami menyembah dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan“. Agar permohonan kita diterima oleh Allah, tentu harus mengikuti tuntunan dan petunjuk-Nya. Salah satu dari petunjuk-Nya dalam memohon pertolongan adalah dengan sentiasa bersikap sabar dan memperkuat hubungan yang baik dengan-Nya dengan menjaga shalat yang berkualitas. Disinilah shalat merupakan cerminan dari penghambaan kita yang tulus kepada Allah.
Esensi sabar menurut Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dapat dilihat dari dua hal: Pertama, sabar karena Allah atas apa yang disenangi-Nya, meskipun terasa berat bagi jiwa dan raga. Kedua, sabar karena Allah atas apa yang dibenci-Nya, walaupun hal itu bertentangan keinginan hawa nafsu. Siapa yang bersikap seperti ini, maka ia termasuk orang yang sabar yang Insya Allah akan mendapat tempat terhormat.
Betapa kita sangat membutuhkan limpahan pertolongan Allah dalam setiap aktivitas dan persoalan kehidupan kita. Adalah sangat tepat jika secara bersama-sama kita bisa mengamalkan petunjuk Allah dalam ayat di atas agar permohonan kita untuk mendapatkan pertolongan-Nya segera terealisir. Amin

";
evenmore = document.getElementById('evenmore13');
evenmore.innerHTML = "Even More ";
//-->
Bookmark This ";
document.write(droptext);
//-->

Rabu, 08 Oktober 2008

KESUCIAN ISLAM DALAM IMAN SEORANG HAMBA ALLAH

Assalamualaikum Wr.Wb
Ada suatu kegundahan dalam hati yang paling dalam saat menyikapi sikap segolongan umat yang menyatakan dirinya adalah Islam yang justru melakukan perbuatan serta sikap yang sebenarnya adalah bukan mencerminkan seorang Islam seperti yang di wahyukan Allah dalam kitab suci Alquran dan yang pernah di ajarkan oleh nabi besar Muhammad S.A.W. terhadap umatnya. Sikap dan perbuatan yang dilakukan oleh segolongan ini malah justru akan mencoreng agamanya sendiri yaitu Islam. Contoh bagus dalam masalah ini adalah : "Kita sering melihat dan mendengar ada segolongan tertentu yang merasa sangat bertanggung jawab dan merasa sangat bekerja keras dalam membela Islam akunya" sikap yang terkesan berlebihan seolah2 Islam sangat terancam dan teraniaya bahkan terancam bangkrut ibarat terimbas harga saham yang terus menurun drastis akibat dampak global dunia..sayangnya lagi situasi ini dibuatnya seolah2 seperti jaman jahiliyah di tanah arab dulu dimana masih diperlukan perjuangan dalam mensyiarkan dan membela Islam..kalau memang situasi sedemikian parah seperti ini mungkin Allah akan menurunkan Nabi baru yang lebih terakhir dari Nabi Muhammad karena dianggap jerih payah Nabi belum ada hasilnya karena masih diperlukan perjuangan yang keras menuju kemerdekaan, kemerdekaan beribadah dan memeluk agama khususnya Islam...seperti itu kan kesan jadinya? Padahal Allah dalam salah satu wahyunya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak salah berbunyi "Pada Hari Ini Telah Kusempurnakan AgamaMu..."

Nah sudah jelas kan?! jaminan dari Allah bahwa Islam sudah sempurna pengajaran dan pengamalannya yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW selama ini?..oleh karenanya ada lagi wahyu Allah yang mengatakan " Kuciptakan semua makhluk yang ada di dunia ini hanya untuk beriman dan bertakwa kepada KU" kan tidak untuk berjuang lagi kecuali saat membela diri karena diri merasa terancam..kenapa? sebenarnya mereka2 itu tahu tidak hakekat "ISLAM" itu apa..yaitu selamat baik didunia maupun di akherat..Allah sudah sangat pasti menjamin umat Islam akan selamat asal sepanjang menjalankan segala kewajiban yang diperintahkan Allah kepada setiap umat Islam dan mematuhi segala larangannya juga mengikuti hadist Rasulullah sebagai pelengkap syariat bagi umat Islam seluruhnya..apakah kita memang sudah benar2 menjalankan segala perintah2NYA? apakah juga kita sudah benar2 menghayati dan mengimani benar2 satu persatu dari Rukun Iman bahkan juga Rukun Islam? perhatikan tugas dan kewajiban di 2 rukun itu benar2..kalau saja segolongan atau segelintir oknum Islam yang haus akan gelar pahlawan Islam ini benar2 menghayati mungkin tidak akan terjadi kekhawatiran akan kebangkrutan Islam..sia sia saja perjuangan yang dilakukan Nabi Muhammad kalau umatnya masih saja harus terus berjuang dan berperang setelah Beliau wafat, padahal sangat luarbiasa sudah apa yang sudah dilakukan Nabi Muhammad SAW agar umat Muslim setelahnya dapat lebih tenang menjalankan segala ibadahnya karena Allah dan tidak lagi sembunyi2 lagi bahkan berperang dalam membela Islam.

Lalu bagaimana dengan segelintir oknum Islam yang sedang ber revolusi menuju kemerdekan Islam saat ini? mereka sudah bekerja keras membunuh musuh2nya yang non muslim bahkan yang muslimpun ikut terbunuh pula..apakah ada wahyu baru yang memerintahkan kita utk mulai berperang dan membunuh makhluk ciptaan Allah lainnya (manusia non muslim)?!..apakah sekarang ini Islam sudah mengeluarkan peraturan atau ajaran baru untuk melakukan kekerasan?! atau mereka2 oknum Islam sudah merasa kalau Allah mulai lelah melindungi dan menjaga kaum Muslimin dan Muslimatnya sehingga harus dibantu pasukan pembunuh ?! apakah memang Surga sudah diresmikan pembukaannya untuk pahlawan2 yang katanya sudah jihad ini sehingga ga perlu nunggu kiamat dulu?! apakah mereka oknum Islam ini secara pribadi sudah sangat terancam keselamatannya sehingga mereka mendahului membakar musuh2nya dengan bubuk mesiu?! apakah negara kita ini sudah sangat membutuhkan pahlawan2 Islam untuk membantu negara karena aparat keamanan dan pertahanannya sudah habis dan tidak mampu lagi?! yang lebih lucu lagi apakah mereka oknum2 Islam ini merasa bahwa perjuangannya sudah sepaham dengan umat Islam seluruhnya?! apakah sholat 5 waktu yang sudah dikerjakan selama ini oleh mereka2 sudah bisa menjamin bahwa dirinya sudah merasa dekat dan dilegalkan segala perbuatannya oleh Allah SWT dan jaminannya surga ?! maauuuu...!, kalau kita menyimak dengan segala keimanan dan bekal aqli dan naqli kita bahwa didalam Alquran telah disebutkan dalam wahyu Allah yang intinya "Setiap hambaKU yang mematuhi aturan didalam pemeritahan nya saat itu..dia hamba KU telah melakukan ibadah yang besar dalam hidupnya"..bila dibandingkan dengan perbuatan mereka2 oknum yg menamakan dirinya umat Islam yang sudah melakukan perbuatan makar, provokasi, tuduh sana dan tuduh sini, tebar pesona kesana kemari, muna sana muna sini dan macam2 perbuatan yang melanggar hukum ini apakah sudah sesuai dengan wahyu Allah diatas tadi?? saya yakin mereka telah melanggar aturan pemerintah selama ini dan Insya Allah pula bertentangan dengan aturan Allah..apakah mereka Islam?! tunggu dulu! Islam yang mana??? bahkan Islam ada 72 aliran kan?! apa lagi ada yang mengatasnamakan Islam garis keras! padahal Islam agama yang menentang adanya kekerasan! gara2 perbuatan segelintir oknum2 inilah akhirnya Islam sering dituduh agama teroris oleh negara2 barat.

Jadi siapa yang sebenarnya yang mencoreng dan menghancurkan nama Islam??! yah mereka2 juga..jadi menurut hemat saya mereka oknum2 Islam tadi adalah bukan Islam yang diajarkan Nabi Besar Muhammad SAW, mereka2 tidak pernah paham dan mengimani isi Alquran, mereka tidak mau belajar untuk ingin tahu apa2 yang sebenarnya yang dimaksud dalam sederetan kalimat dalam balutan surat dan ayat Quran, mereka2 lebih senang mendengarkan dan siap mati demi seorang figur manusia yang katanya masih keturunan Nabi Muhammad..padahal Nabi sendiri pernah bersabda kepada salah seorang sahabatnya bahwa "Keturunanku hanya sampai 7 (tujuh) selebihnya sudah bukan lagi keturunanku" apa dong artinya ini..yah jelas sudah bukan jaman lagi orang mengkultuskan seseorang adalah masih darah Muhammad!? tapi Nabi juga sudah pernah bersabda bahwa nanti ada setelahku dari hamba Allah dan umatku yang lebih taat dan dekat kepada Allah yang akan meneruskan ajaran Islam yang suci ini..siapa mereka? contoh terdekat seperti lahirnya para Wali2 Allah yang pernah ada di Indonesia dan para Kyai serta sesepuh Islam yang benar2 taat dan menjalankan perintah Allah, walaupun mereka sekarangpun sudah tiada namun ajaran2 Islamnya telah banyak dianut sebagian besar penduduk Indonesia sampai saat ini Subhanallah!!..mereka2 pun tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada umatnya saat itu, lalu dari mana dan ajaran siapa sehingga Islam sekarang terkesan akrab dengan kekerasan?! sadarkah kita ini???? kenapa tidak sadar diri kalau mereka2 sedang dijadikan robot2 perusak dan pembunuh?? kalaupun telah terjadi penindasan terhadap sekelompok, masyarakat atau negara Islam oleh suatu kekuasaan atau negara tertentu maka sudah seharusnya umat Islam mencerna peristiwa tersebut dengan kemampuan dalil Aqli dan Aqlinya (itupun kalau mampu!), contoh sebagai alur pikir yang mendekati rasionalnya adalah..kalau disuatu tempat dimana Alquran benar2 dijalankan, diamalkan, dihayati, didalami oleh umatnya disana serta menjalankan semua perintahNYA menjauhi segala larangan sesuai yang tertulis dalam Alquran dan hadist Rasulullah..Insya Allah! Allah akan menjaga kaum itu., Allah akan melindungi bahkan mensejahterakan kaum tersebut, jangankan terhadap manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah bahkan terhadap kitab Alquran pun yang cetakan isinya benar tidak akan pernah terbakar oleh jilatan api dunia yang membakar disekelilingnya. Kalau orang2 Islam di negara Irak teraniaya oleh kekuatan asing lalu hikmah dibalik itu apa..coba simak ada apa Islam di sana? begitu juga di Iran...shalawat Nabi Besar Muhammad SAW jarang dikumandangkan disana tapi malah sayyidina Ali yang menjadi pershalawatannya..aneh kan? apakah ada orang Islam lainnya yang mampu menasehati perilaku orang2 Irak ini? hanya Allah saja yang berkuasa melakukannya..dengan kuasaNYA Allah mampu memerintahkan hamba2 yang lainNYA untuk mengingatkan walaupun hambanya tersebut belum tentu tahu maksud Allah tersebut.

Di dunia ini banyak sekali berkembang dan berakar subur suatu ajaran Islam yang sebenarnya bukan Islam, belum lagi budaya Bid'ah (diluar kebiasaan Nabi) yang sedang semarak melanda sekaligus mewabah bagaikan penyakit yang mulai kronis khususnya dalam ke Imanannya kepada Allah SWT dan RasulNYA. Jadi kesimpulannya..berhati2lah menyatakan diri dan orang lain adalah Islam kecuali kita sudah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNYA serta mengikuti Sunnah atau hadist Rasulullah termasuk mematuhi dan melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam..amiin ya Allah. Ada suatu khabar bahwa bagi segolongan oknum umat Islam tertentu ada yang sudah beralih kiblat ajarannya ke negeri Pakistan bahkan berlatih perang di Afghanistan..Masya Allah!!...rasanya Kiblat yang di tanah Harrom Saudi Arabia belum hancur lebur jadi tanah bahkan masih berdiri kokoh. Lihat saja negara Saudi Arabia tidak terlalu pusing memikirkan nasib umat Islam yang tertindas..kenapa ? mereka2 ahli kitab yang ada di negara Saudi Arabia sudah tahu tentang seluk beluk ajaran Islam dari kaum tersebut..Saudi Arabia yang tersimpan tanah dan masjidil Harrom dengan batu Ka'bah sebagai patokan Kiblat bagi seluruh umat Islam di dunia akan dijamin keutuhannya dan dijaga sampai akhir jaman kelak..inilah satu contoh seperti yang sudah saya sebutkan diatas bahwa Allah lah yang akan menjaga dan melindungi umatnya yang benar2 menjalankan segala perintah dan menjauhi laranganNYA. Demikian untaian kata hati yang terlepas dalam diri untuk menjauhkan hati dari segala kedengkian dan kesesatan pikiran serta Iman kepada Allah SWT dan RasulNYA..Amiin Amiin ya Robbal Alamiiin. Wass Wr Wb.



Rabu, 24 September 2008

GEGAP GEMPITA DALAM RENUNGAN


Judul diatas sebagai keresahan hati memandang dunia yang seperti bernyanyi tapi sebenarnya duka lara yang tak terhingga dalam hati dan sanubari setiap manusia di dunia ini, mengapa ? sebenarnya hati setiap manusia sungguh tahu mana2 dari perbuatan jasadnya yang salah dan mana2 perbuatan itu adalah benar yang datangnya dari Allah..memang kebaikan dan keburukan semuanya datangnya dari Allah semata..namun dalam hal ini Allah memiliki hamba2NYA yang jahat maupun yang baik..seperti jin dan iblis yang diijinkan mengganggu hamba2 Allah yang tipis imannya dan sebaliknya berbahagialah bagi hamba2NYA yang masih memelihara keimanannya kepada Allah karena para Nabi,Malaikat dan roh suci lainnya akan tetap membimbing kita ke jalan yang di ridhoi Allah S.W.T. Sebenarnya Allah sangat dekat dengan orang2 yang prihatin, orang2 yang bersedih, orang2 yang sedang lapar, mereka2 itu biasanya akan ingat dengan Tuhannya dan memohon perlindungan dan pertolongan atas derita dan nasib yang sedang menimpa dirinya ketimbang mereka orang2 yang sedang berhura-hura, bersenang-senang, hingar bingar dalam suasana gegap gempita yang sangat.
Yang lebih hebatnya lagi sepertinya mereka yang sedang gegap gempita biasanya lupa dengan larangan2 yang tidak boleh dikerjakan menurut ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw beserta hadistnya..larangan seperti apa itu..mari coba kita renungkan..dunia saat ini tidak terkecuali Indonesia sepertinya sedang berpesta bagi segolongan manusia, kehidupan yang glamour, hura-hura, suara yang bising dari mulut dan alat menjadi indah ditelinga, mata dan mulut mereka..Subhanallah!! Suara keras dengan lantunan yang dianggap indah menjadi modal bahkan tujuan hidup bagi segolongan manusia hanya demi semata2 kejayaan, materi, ketenaran dan tahta belaka. Padahal kalau kita mau mendengar atau membaca kisah perjalanan nabi Muhammad saw pada waktu syiar Islam dahulu beliau pernah menegur dengan keras kepada salah seorang pengikutnya yang sedang berjalan dibelakang nabi sambil melantunkan kalimat sepertri orang bernyanyi kalau saat ini..kenapa? karena Nabi tahu bahwa perbuatan tersebut akan serta merta diiringi oleh iblis yang memang sedang mencari kawannya di neraka nanti, iblis sengaja mempengaruhi dan menuntun orang2 yang mengeraskan suaranya, kebisingan, hiruk pikuk (suasana gegap gempita) adalah kesenangan iblis karena dengan suasana yang demikian maka otomatis manusia itu akan lupa dengan Tuhannya..
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa suasana yang demikian itu saat ini sedang trend2nya dikalangan manusia diseluruh muka bumi ini..kenapa? karena itu akan membuat mereka kaya, terkenal dan menjadi idola bagi kawula muda dan tua..sepertinya mereka senang dikultuskan, dipuja-puja, dielu2kan sehingga banyak diantara mereka akhirnya malah tamat ditengah jalan bahkan jalanpun belum..apa maksudnya ini? yah manusia diseluruh dunia ini seharusnya sedang menjalankan misinya selama hidup sampai mati nanti dengan menamatkan Quran yang ada ditubuhnya yaitu dengan jalan beriman dan bertakwa kepada Allah S.W.T dan mengamalkannya hanya semata2 karena Allah saja. Lalu....(bersambung)

Kamis, 04 September 2008

Gua Hirra

Coba renungkan gambar ini: Disinilah Nabi menangis
Disinilah Nabi diperkenalkan dg malaikat Jibril
Disinilah Nabi menerima wahyu Illahi pertama
Disinilah surat Iqra dikumandangkan, Subhanallah AllahuAkbar!!
Dari goa yang sempit inilah lahir ajaran terbesar sepanjang sejarah manusia yaitu Islam..Maha Besar Allah dengan segala firman
nya.

Rabu, 03 September 2008

RENUNGAN SEBUAH IBADAH


Ada amal dan ada juga yang namanya ibadah..menurut pengertian singkat saya bahwa amal adalah sesuatu perbuatan untuk membantu sesamanya (Hablumminannas)(horizontal) sedngkan ibadah adalah sesuatu perbuatan atau persembahan diri hanya kepada Allah semata (vertikal), baik amal maupun ibadah sama2 mengharap ridho Allah SWT. Menurut saya ibadah yang kita lakukan selama ini adalah merupakan upaya tahu diri dihadapan Allah..walaupun Allah tidak tergantung dg hambanya..tapi Allah senang dengan hambanya yang beriman dan bertaqwa kepadaNYA. Kalau mau dihitung2 antara ibadah yg kita persembahkan kepada Allah dibandingkan dengan apa2 yang telah Allah berikan sampai saat ini kepada kita...sungguh sangat dan sangat tidak berimbang..ibadah manusia tidak akan mampu membayar 1 (satu) keikmatan saja yang diberikan Allah SWT.
Sudah tidak mampu membayar kenikmatan Allah ditambah pula ibadahnya orang itu ingin diketahui orang lain, hamba itu mungkin sangat susah membedakan antara riyya dan ikhlas..mungkin bisa sedikit saya bantu, kalau riyya mengharap pujian dan decak kagum dari sesama nya tapi kalau ikhlas hanya mengharap keridhoan Allah semata dan menjadi tabungan diakherat nanti. Bedanya lagi ibadah dengan amal, cara mengerjakannya yaitu kalau ibadah seandainya dilakukan sebisa mungkin makhluk lain tidak ada yang tahu takut jangan2 timbul sedikit keriyaan sedangkan amal bisa saja diketahui oleh hamba2 yang lain karena bersifat hubungan antar manusia.
Mari kita simak deh kejadian2 yang sedang terjadi di jaman sekarang ini..sepertinya banyak orang sudah memamerkan perbuatan amalnya agar bisa diketahui orang banyak, mereka berlomba dg keriyaan (mdh2n tidak fitnah) sampai ibadah sholat yang dilakukan sendiripun kalau bisa khalayak tahu..Masya Allah!!! ini salah siapa?? menurut saya yang pertama2 yang harus disalahkan ya ortunya lah..wong ortunya dulu semasa mudanya pas2an aja ttg agamanya lalu bgmn menurunkan ke anak2 mereka ttg ajaran apalagi mengkoreksi tentang kebenaran ajaran Islam kepada anak2nya dan lebih parahnya lagi malah ortunya tadi mengajarkan keriyaan / pameran amal kepada anak2nya supaya ntop dimata orang lain..apa gak kacau malacau nih dunia..
Apakah mereka pernah belajar dari pengalaman pahit yang menimpa para pendahulunya?? atau mereka hanya menganggap musibah demi musibah yang dialami pendahulunya hanya sebagai peristiwa kebetulan dan nasib jelek pedahulunya saja...? kalau memang ini anggapan dari mereka selama ini..chk,,chk..betapa parah akidah dan keimanan hamba2 Allah ini menurut saya. Allah tidak pernah menjadikan segala peristiwa didunia ini dengan cara kebetulan yang tidak disengaja..sungguh picik dan kerdil kalau manusia berfikir spt itu..kalau boleh kita tahu bahwa selembar daun kering saja yang sedang jatuh melayang2 diatas tanah adalah karena rencana Allah SWT apalagi nasib seorang manusia yang katanya makhluk yang paling dimuliakan diatas planet ini?!!
Rasanya tidak ada seorang hamba Allah yang bertambah susah nasibnya apabila rajin dan khusyuk dalam menjalankan ibadahnya..Allah akan melindungi hambanya tersebut dari segala fitnah kehidupan dan fitnah kematian..nah sementara juga di tempat lain ada seorang hamba Allah yang sepertinya terlihat rajin dan khusyuk malah fitnah melulu yang didapat..mulai dari berurusan dengan pihak berwajib sampai dengan dihujat oleh masyarakat luas sedangkan seharusnya Allah melindungi hamba2nya kalau yang dikerjakan tsb sesuai dengan akidah dan ajaran Islam yang benar tentunya.

Sebuah Renungan


Tulisan ini adalah renunganku yang kadang kala mengusik kalbu dan keprihatinan yang sangat dalam bagiku sebagai seorang muslim, kehidupan dunia dengan berbagai macam persoalan dan glamornya hidup membuat hati dan keimanan menjauhi makna serta hakekat ajaran Islam yang pernah di wahyukan oleh Allah S.W.T melalui Nabi besar Muhammad Rasulullah kepada umatnya yang mau beriman. Sebuah renungan akan arti kehidupan yang seharusnya untuk beriman dan bertaqwa ternyata sudah banyak disalah artikan oleh sebagian hamba2nya (mudah2n tidak menjadi fitnah), sepertinya hati dan Imanku yang terbatas ini sempat berontak dan geram bila melihat, mendengar bahkan merasakan adanya sesuatu perbuatan yang mungkin menurutku telah berpaling dari ajaran Islam yang sebenarnya (Wallahualam).Sungguh maha sempurna apa yang telah diturunkan Allah SWT melalui hamba2NYA yang dicintaiNYA yaitu para Rasul dan Nabi yang telah bersusah payah mengharap semata keridhoan Allah SWT dan menanggung segala penderitaan sampai dengan menghadapi kematian dijalan Allah.
Lalu bagaimana dengan para hamba Allah sesudahnya sampai dengan sekarang ini, bagaimana kita2 sebagai umat Islam yang tinggal enaknya saja melaksanakan ajaran2 Islam tanpa harus berjuang seperti yang dilakukan para Rasul dan Nabi serta para sahabat2nya dulu? Sungguh hina dan nistanya kita apabila amanah suci yang bersumber dari kitab suci Alqur'an ini disalahgunakan atau diselewengkan hanya untuk kesenangan, nafsu serta pujian dari sesama hamba Allah (Nauzubillahimindalik)..bahkan yang lebih hebat lagi ayat2 Qur'an sekarang sudah menjadi sumber bahan bakar mesin pencetak uang yang bisa dihargakan dengan mata uang..Masya Allah!
Kalau saya bisa renungkan perbuatan2 hina tadi sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah bahkan hampir tidak terasa janggal bagi segolongan umat Muslim sekarang ini (mudah2an tidak fitnah)..memang ini hanya sebuah renunganku saja mungkin saja bagi yang lain menilai tulisan ini hanya mengada2 dan didramatisir..yah nafsi2 sajalah buatku..bagimu urusanmu bagiku urusanku..yang penting sampaikanlah walaupun cuma satu ayat tentang kebenaran (tentunya yang bersumbar dari Alqur'an dan hadist). Anggap saja tulisan ini sebagai pengingat buatku dan keluargaku agar dijauhkan dari perbuatan2 yang tidak di Ridhoi Allah SWT.
Kalau saya renungkan saat ini banyak oknum2 manusia yang berlabel Islam dimulutnya sudah pada lupa dengan arti kesucian kitab suci Alqur'an termasuk didalamnya Ashma Allah dan ayat2 yang terkandung didalamnya..kenapa? sekarang oknum manusia dengan mengucap Ashma Allah seperti "Allahu Akbar" saja sudah bisa menagih bayarannya bahkan kalau tidak dibayar karena oknum itu sudah melantunkan kalimah "Allahu Akbar" maka orang lain / perusahaan tertentu bisa dituntut secara hukum bahkan sampai di muka persidangan karena lupa membayar atau bayaran terlalu kecil..padahal kalau kita renungkan oknum manusia tadi tidak pernah bersusahpayah mendapatkan kata2 atau kalimah Allahu Akbar..dia hanya menyontek..dia hanya meniru..dia hanya bisa membaca tanpa bisa menghayati betapa besar dan tak ternilainya kalimah "ALLAHU AKBAR" bahkan selain dari itu sebuah huruf saja yang bersumber dari Alquran tidak dapat dinilai oleh apapun yang ada didunia ini..Subhanallah!
Berawal dari keterbatasan iman dan pengetahuan Islam yang dimiliki menjadikan oknum manusia tsb sangat mampu bahkan tidak sadar telah menjual ayat2 / kalimat suci yang bersumber dari Allah SWT..Renungan saya sementara ini adalah Allah masih sayang dengan hamba2nya yang tidak tahu diri ini atau mungkin juga Allah masih membiarkan perilaku oknum2 manusia ini walaupun mungkin Allah sebenarnya tidak Ridho karena ayat2nya sudah dijual dengan harga eceran tapi bisa membuat kaya secara materi bagi oknum2 manusia tadi..tapi mungkin kekayaan bagi oknum manusia tadi sudah menjadi merasa puas yang luar biasa..dia merasa sudah jutawan di kalangan manusia yang hidup..puluhan ayat sudah bisa dia jual..luar biasa tidak ada rasa malu sepertinya..malu kepada Allah, malu kepada ahli2 kitab, malu kepada Roh para Nabi khususnya Nabi Besar Muhammad Rasulullah, malu kepada Malaikat yang selama ini mengawal dan menjaga kemurnian kitab suci Alquran, malu kepada umat Islam yang benar2 menghayati dan mengamalkan isi Quran dengan sebenarnya.
Saya renungkan sendiri bahwa sayapun bukan sebagai ahli kitab, bukan juga sebagai ahli Islam dan bukan seorang suci, bahkan tidak bercita2 sebagai penceramah / pengkotbah tentang Islam, sungguh perasaan saya belum mampu dan takut kalau berbicara banyak, saya pun takut yang saya bicarakan akan menjadi fitnah di mata Allah ...tapi kalbuku merasa berontak walau iman tak terusik tapi cukup mengelitik ketenangan jiwaku selama ini...mungkin masih lebih baik saya mempunyai perasaan seperti ini dari pada larut dengan kesenangan dunia belaka.Siapa yang tahu sayapun sedang mengejar kemenangan dan kejayaan didunia ini tapi siapa yang tahu juga bahwa sayapun sedang berusaha mengejar kesempurnaan,bekal amal dan ibadah serta derajat setinggi2nya untuk di akherat nanti (hanya Allah saja yang boleh tahu)..Renunganku adalah cita2ku semoga Allah mengabulkan..amin amin ya Rabbal alamiin.

Rukun Islam ada berapa?